BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar belakang
Bahasa Arab memegang peranan penting
dalam peradaban dan perkembangan Islam karena merupakan bahasa Al-Qur’an dan
mengingat banyaknya ilmuwan Islam yang menulis karyanya dengan bahasa Arab. Hal
tersebut secara tidak langsung menuntut kita untuk mempelajari dan mendalami
bahasa Arab, ditambah lagi dengan sangat berkembangnya bahasa Arab saat ini
yang menjadikan bahasa Arab sebagai salah satu bahasa Internasional.
Bahkan sudah banyak sekolah-sekolah yang
menjadikan bahasa Arab sebagai pelajaran wajib dalam kurikulumnya. Dalam bahasa
Arab, tidak bisa dielakkan lagi bahwa qawaid memegang peranan sangat penting
didalamnya. Terutama nahwu dan sharaf. Karena qawaid menentukan bagaimana cara
kita memahami bahasa tersebut dan membuat orang lain paham dengan apa yang kita
ucapkan.
Ilmu nahwu membahas tentang kedudukan
kalimat ketika berubah bentuk. Oleh karena itu, tanpa ilmu nahwu kita tidak
akan bisa memahami bahasa Arab dengan baik.
B. Rumusan Masalah
1.
Bagaimana pengertian maf’ul lah dan maf’ul
ma’ah ?
2.
Bagaimana contoh maf’ul lah dan maf’ul ma’ah ?
3.
Apa saja syarat maf’ul lah dan maf’ul ma’ah ?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Maf’ul Lah/Maf’ul Li Ajlih
menurut bahasa adalah : objek yg menjadi faktor
pekerjaan. Menurut Ilmu Nahwu adalah : Isim Masdar yang menjelaskan tentang
faktor/alasan dari penyebutan Amil sebelumnya. Dan bersatu dalam hal waktu dan
subjeknya.
Contoh Maf’ul Liajlihi / Maf’ul Lahu:
جِئْتُ
رُغْبَةً فِيْكَ
JI’TU RUGHBATAN
FIIKA = aku datang karena senang kepadamu.
Pada contoh diatas lafadz
“RUGHBATAN”=SENANG adalah Isim Masdar yg difahami sebagai faktor bagi
Amil/kata kerja lafadz “JI’TU”=AKU DATANG. Secara maknanya contoh diatas
berbunyi seperti ini:
جِئْتُ
لِلرُغْبَةِ فِيْكَ
lafadz “RUGHBATAN”
Isim Masdar yang menjadi Maf’ul Lah, juga bersekutu dalam hal waktu dengan Amil
lafadz “JI’TU”, karena waktu aku senang, itulah waktu aku mendatanginya. Juga
bersekutu dalam satu subjek yaitu satu Fa’il berupa Dhamir Mutakallim/aku.
Contoh Maf’ul Li Ajlihi/Lahu Fi’rman Allah:
وَالَّذِينَ
صَبَرُوا ابْتِغَاءَ وَجْهِ رَبِّهِمْ
lafadz “IBTIGHOO’A”
sebagai Maf’ul Lah/Liajlih.
Juga contoh Firman Allah :
لَوْ
يَرُدُّونَكُمْ مِنْ بَعْدِ إِيمَانِكُمْ كُفَّارًا حَسَدًا مِنْ عِنْدِ
أَنْفُسِهِمْ
agar mereka dapat
mengembalikan kamu kepada kekafiran setelah kamu beriman, karena dengki yang
(timbul) dari diri mereka sendiri (Al-Baqoroh :109)
lafadz “KAFFAARON” menjadi HAL sebagai
Amil, dan lafadz “HASADAN” sebagai Maf’ul Lah
B. Hukum I’rob Maf’ul Liajlih / Maf’ul lah
Maf’ul lah Boleh Nashob sekiranya terdapat tiga
syarat sebagimana tersirat dalam bait yaitu:
- Isim Mashdar
يُنْصَبُ
مَفْعُولاً لَه الْمصْدَرُ إِنْ ¤ أَبَانَ
تَعْلِيلاً كَجُدْ شُكْراً وَدنْ
Mashdar dinashobkan menjadi Maf’ul Lah (syaratnya) jika ia
menjelaskan Ta’lil (alasan/faktor), contoh “JUD SYUKRON WA DIN!” =
bersikap baiklah karena bersyukur dan beragamalah! (dengan taat)
- Lit-Ta’lil/Penjelasan Faktor alasan
- Bersatu dengan Amilnya dalam satu Waktu dan satu Fa’il
وَهْو
بِمَا يَعْمَلُ فِيهِ مُتَّحدْ ¤ وَقْتاً وَفَاعِلاً وَإنْ شَرْطٌ
فُقِدْ
“Juga Masdar yg menjadi Maf’ul Lah harus bersatu dengan Amilnya
dalam hal waktu dan subjeknya. Dan jika tidak didapati syarat”
Atau kalimah yg
mencukupi tiga syarat tersebut juga Boleh Dijarkan dengan huruf jar Lit-Ta’lil.
Jika salah satu saja
dari ketiga syarat ini tidak terpenuhi maka Wajib Dijarkan dengan huruf
jar lit-Ta’lil berupa huruf LAM, MIN, FIY atau huruf BA’.
فَاجْرُرْهُ
بِالْحَرْفِ وَلَيْسَ يَمْتَنِعْ ¤ مَعَ
الشُّرُوطِ كَلِزُهْدٍ ذَا قَنِعْ
“ maka majrurkan
dengan huruf jar. Pemajruran ini juga tidak dilarang sekalipun Masdar tsb
mencukupi Syarat seperti contoh: LI ZUHDIN DZAA QONI’A = dia ini qona’ah
dikarenakan zuhud” .
Contoh yang tidak
memenuhi syarat Isim Mashdar:
جِئْتُكَ
لِلْكِتَابِ
JI’TU KA LIL KITAABI = aku mendatangimu karena kitab itu.
Contoh yang tidak bersatu dengan Amilnya dalam hal satu Waktu:
جِئْتُكَ
اليَوْمَ لِلإِكْرَامِ غَداً
Contoh yang tidak bersatu dengan Amilnya dalam hal satu
Fa’il/Subjek:
جَاءَ
خَالِدُ لِإِكْرَامِ عَلِيِّ لَهُ
Kalimah yg dijarkan
oleh huruf-huruf jar tersebut, tidak di-I’rob sebagai Maf’ul Lah; karena Maf’ul
Lah tersebut khusus bagi kalimah yg Nashob saja. Sekalipun demikian, secara
makna keduannya tidak berbeda alias sama.
C.
Pengertian Maf’ul Ma’ah
Pengertian al-maf’ul ma’ah menurut para ahli qawa’id,
yaitu:
Menurut Al-Sayyid Ahmad al-Hasyimiy:
المفعول
معه اسم يقع بعد واو بمعنى " مع" ليدلّ على
ما وقع الفعل بمساحبته.
نحو
: سرت والنهر اى مع
النهر, ونحو انا سافر والنّيل اى مع النّيل
Menurut George Merry:
المفعو
ل معه هو اسم منصوب تتقدم جملة و يقع فصله بعد واو بمعنى مع نحو سرت والجبل
Menurut Baha’ al-Din ‘Abdullah:
المفعو
ل معه هوا لا سم ا لمنتصب بعد واو بمعنى مع
Ketiga definisi tersebut di atas, memberikan pemahaman bahwa yang
dimaksud dengan al-maf’ul ma’ah adalah isim yang manshub,
yang sebelumnya terdapat wawu al-ma’iyyah.
D. Syarat-syarat al-Maf’ul Ma’ah
Kalau diperhatikan pendapat George Merry tersebut, ternyata berbeda
dengan definisi yang dikemukakan oleh ahli qawa’id lainnya. Ia mengungkapkan
bahwa falatan, sehingga dapat dipahami bahwa dengan adanya kata tersebut,
terdapat perbedaan dengan isim yang manshub lainnya. Namun demikian, ahli
qawa’id lainnya menjadikan adanya syarat yang muncul pada al-maf’ul ma’ah.
Kenyataan tersebut diungkapkan oleh al-Sayyid Ahmad al-hasyimiy yang mengatakan
bahwa disyaratkan nashab sebagai isim yang al-maf’ul ma’ah :
ان
بكون ا لا سم الو قع بعد ا لو او فضلة ليصح انعقاد الجملة بدو نه -
ان
يكون ما قبله جملة فيها فعل او اسم فيه معنى الفعل و حر وفه -
ان
تكون الو او التى تسبقه نصا في المعنى -
Menurut pendapat di atas bahwa tidak terjadi al-maf’ul ma’ah,
kecuali terdapat padanya 3 (tiga) persyaratan yaitu:
- Adanya isim yang manshub sebagai fadhlatan;
- Adanya jumlah yang terdapat sebelumnya, fi’il atau isim yang semakna dengan huruf-huruf hijaiyyah fi’il tersebut;
- Adanya al-wawu yang mendahului isim tersebut jelas nasnya sebagai wawu al-ma’iyyah.
Ketiadaan ketiga syarat yang dimaksud, maka tidak dapat disebut
kalimat tersebut sebagai al-maf’ul ma’ah.
1. Adanya isim yang manshub sebagai fadhlatan.
Ada isim yang manshub sebagai al-maf’ul sesudah al-wawu,
tetapi tidak dianggap sebagai al-fa«lah. Isim yang dimaksud
adalah ‘athaf dari isim yang manshub itu sendiri.
Isim yang dimaksud sebagai fadhlan adalah bedanya
itu sendiri, sehingga tidak mungkin untuk diperbandingkan. Atau dengan
perkataan lain ia terhalang dalam ‘athaf dari isim pada jumlah
sebelumnya. Contoh:
جِعْنَا وَالدُجَاجَةُ
Disamping itu, dapat pula dikemukakan bahwa isim yang manshub
itu dapat menjadi ‘athaf, tetapi lemah dari segi maknanya, sehingga
tidak dapat diperbandingkan makna yang dimaksud.
Apabila terdapat isim
sesudah al-wawu tetapi setara dengan isim sebelumnya, maka isim
yang dimaksud mengikuti isim yang ada di dalam jumlah sebelumnya,
walaupun al- wawu yang terdapat didalam kalimat tersebut disebut wawu
al-ma’iyyah. Contohnya dapat dikemukakan berikut ini "سار الامير والجيش"
2. Adanya Jumlah yang
terdapat sebelumnya
Menurut Baha’ al-Din ‘Abdullah Ibn ‘Aqil bahwa yang me-nashab
isim adalah dari fi’il atau yang semacamnya. Tentu yang dimaksud
dengan yang semacamnya adalah isim
fa’il dan semacamnya yang mempunyai fungsi sebagaimana fungsinya fi’il. Di bawah ini dikemukakan
beberapa contohnya masing-masing:
- Dari jumlah fi’liyyah: سِرْتُ وَالطَرِ يْق, نِمْتُ وَالسَرِيْر
- Dari jumlah ismiyyah; jumlah ismiyyah tersebut terdiri atas al-mubtada’ dan al-khabar yaitu:
1) Al-mubtada’ al-muawal dan al-khabar al-mukhkhar seperti
contohnya di bawah ini:
انا
اقف والقرية,
اَنْتَ كَسْلَا نُ وَالمُحَــــا ضَرَ ات
2) Al-mubatada' al-mukhkhar wa al-khabar al-muawwal. Seperti
contoh berikut ini:
مَا
اَنْتَ وَكِتَابك,
مَا اَنْتَ وَزَيْد ا, مَا اَنَا وَصَدِيْقِكَ
Jumlah yang dimaksudkan di atas, muncul sebelum
disebutkannya isim yang fadlan sebagai al-maf’ul ma’ah.
Sebagai ciri khas al-maf’ul ma’ah tersebut, sehingga ia tidak boleh
disebut lebih awal, sebagaimana yang ada pada al-maf’ul bih. Harus di-taqdim-kan
fi’il dan semisalnya dan itulah yang lebih benar menurut para ahli nahwu.
3. Adanya al-wawu
yang jelas nasnya sebagai wawu al-ma’iyyah
Menyangkut adanya wawu al-ma’iyyah sehingga dapat disebut
suatu kata sebagai al-maf’ul ma’ah tentunya ia harus berbeda fungsinya
pada kalimat lain, seperti al-wawu li al-qasam, wawu al-‘athaf dan wawu
al-ibtidaiyyah.
Menyangkut wawu al-ma’iyyah pada al-maf’ul
ma’ah menimbulkan problem tersendiri, karena adanya al-wawu sehingga
isim sesudahnya yang menjadi al-maf’ul ma’ah langsung menjadi manshub.
Dengan demikian, seharusnya ia berfungsi me-nashab isim tersebut.
Ternyata menimbulkan beberapa pendapat yang berbeda. Diungkapkan oleh George
Merry yang mengatakan bahwa sebahagian ahli nahwu menganggap al-wawu tersebut
sebagai amil yang me-nashab al-maf’ul ma’ahu. Sedangkan menurut
pendapat Baha’ al-Din bahwa pendapat yang mengatakan الواو yang berfungsi me-nashab isim adalah
tidak benar. Menurut pendapat tersebut bahwa yang berfungsi me-nashab isim
tersebut adalah fi’il-nyaitu sendiri.
Para ahli tersebut di atas, tentunya bertahan pada pendiriannya
masing-masing. Bagi yang mengatakan bahwa yang berfungsi me-nashab isim
adalah al-wawu. Sebab isim yang manshub muncul sesudah
al-wawu. Adapun yang bertahan pada pendiriannya bahwa fi’il itu
sendiri yang me-nashab isim tersebut karena salah satu fungsi fi’il adalah
me-nashab isim.
Kalau dianalisis
lebih lanjut menyangkut fi’il yang me-nashab isim tersebut,
tentunya kurang tepat sebab al-maf’ul ma’ah yang muncul sesudah khabar
muqaddam pada jumlah tersebut ditakdirkan menjadi اكون dan setarafnya. Fi’il tersebut adalah ناقص . Ia bukan al-fi’il
al-muta’addiy.
Dengan analisis tersebut di atas, dapatlah dikatakan bahwa
dikatakannya al-wawu tersebut sebagai wawu al-ma’iyyat adalah
untuk menyertai fi’il, isim, dan semacamnya dan bersama-sama membentuk al-maf’ul
ma’ah. Menyangkut fi’il yang disertainya boleh fi’il muta’addiy dan
boleh pula fi’il yang naqish yang mahzhuf dengan taqdir اكون dan setarafnya. Namun jika isim yang disertainya dan
langsung me-nashab isim adalah isim yang fa«lan dari segi
bendanya, tetapi dapat juga me-nashab isim jika isim tersebut
lemah dari segi ‘athaf. Ini sangat berarti bahwa fungsi الواو pada al-maf’ul ma’ah lebih nyata
dibanding dengan fungsinya fi’il. Dapat dikatakan bahwa salah satu
fungsi الواو sebagai huruf adalah me-nashab isim jika
ia berada dalam pembicaraan al-maf’ul ma’ah.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kenyataan menunjukkn banwa jika muncul
pembahasan menyangkut al-wawu fungsi dan kedudukannya, maka yang lebih
utama berfungsinya al-wawu itu adalah pada al-maf’ul ma’ah. Dibalik
kenyataan itu, perlu pula dikemukakan bahwa sekalipun al-wawu al-ma’iyyah itu
berfungsi me-nashab isim, tetapi ia tidak me-nashab isim yang
lain jika isim tersebut setaraf dengan isim sebelumnya.
B. Saran
Demikian makalah ini dibuat sesingkat
mungkin, jika ditemukan kekeliruan, kritik dan
saran dari semua pihak sangat diharapkan oleh penulis agar tidak
terdapat kesalahan-kesalahan dikemudian hari. Segala puji bagi Allah Tuhan
semesta alam, semoga shalawat dan salam tetap tercurahkan kepada Nabi kita
Muhammad saw dan kepada keluarga, shahabat serta seluruh pengikut beliau. Aamiin..
DAFTAR
PUSTAKA
·
Alfiyah ibnu malik
Tidak ada komentar:
Posting Komentar